Penolakan PK Pimpinan Khilafatul Muslimin Diduga Memperlihatkan Ketimpangan Penegakan Hukum di Indonesia

Bekasi, 7 November 2024 – Mahkamah Agung (MA) baru saja mengeluarkan keputusan kontroversial dengan menolak Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh tim kuasa hukum Abdul Qadir Baraja, Pimpinan Khilafatul Muslimin. Keputusan ini mengukuhkan putusan sebelumnya dan menutup peluang hukum terakhir bagi terdakwa yang selama ini mengklaim menjadi korban ketidakadilan.

Abdul Qadir Baraja, yang dituduh terlibat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, telah melalui proses hukum panjang yang dinilai penuh polemik. Tim kuasa hukumnya, yang diketuai oleh Muhammad Abudan, SH, MH, menyatakan kekecewaan atas keputusan MA tersebut, yang menurut mereka, merupakan bukti ketidakadilan dalam sistem hukum Indonesia. “Kami menghormati keputusan ini, namun kami tidak ridho dengan kedzaliman yang menyertai kasus ini,” ujar Abudan dalam konferensi pers di Bekasi.

Menurut Abudan, ada banyak kejanggalan dalam penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap kliennya, termasuk kurangnya bukti kuat. Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, saksi ahli dari BRI memberikan keterangan bahwa tidak ada aktivitas keuangan mencurigakan pada rekening yang terkait dengan Abdul Qadir Baraja. “Namun, tampaknya bukti-bukti yang kami hadirkan selama proses persidangan justru diabaikan. Ini membawa kami pada pertanyaan mendasar tentang prinsip keadilan yang seharusnya dipegang teguh oleh aparat penegak hukum,” lanjut Abudan.

Isu Ketimpangan dalam Penegakan Hukum

Keputusan yang dijatuhkan MA ini menambah daftar panjang kasus yang menimbulkan perdebatan mengenai ketimpangan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya terhadap tokoh agama dan ulama. Sejumlah pengamat hukum dan aktivis hak asasi manusia (HAM) menganggap keputusan ini sebagai preseden buruk bagi perlindungan hak-hak sipil di Indonesia.

Mereka menilai bahwa kasus ini memperlihatkan adanya diskriminasi yang sering kali dialami oleh tokoh agama tertentu, yang mendapat perlakuan lebih keras atau cenderung tidak seimbang dibandingkan pelaku lainnya.

Ketimpangan ini, menurut para ahli, tidak hanya membatasi hak-hak warga negara yang terlibat, namun juga berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang seharusnya melayani masyarakat secara adil. “Penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan serius terkait dengan prinsip keadilan yang universal dan tidak memihak,” ujar seorang pengamat hukum terkemuka. Mereka menyoroti pentingnya perlindungan hak-hak sipil dan penegakan hukum yang konsisten bagi seluruh warga negara, tanpa memandang latar belakang individu atau kelompok tertentu.

Khilafatul Muslimin Berkomitmen Melanjutkan Dakwah

Di tengah berbagai tekanan hukum, Wazir Khalifah Khilafatul Muslimin, Ustadz Abu Qoyyim, menyatakan bahwa mereka akan tetap melanjutkan aktivitas dakwah Islam secara damai dan konstruktif. Ia menegaskan bahwa perintah dari pimpinan mereka adalah agar tidak gentar dalam menghadapi berbagai tantangan dan untuk terus berdakwah sesuai ajaran Islam. “Khalifah menginstruksikan kami untuk tidak gentar dan terus berdakwah mencari ridho Allah SWT, meskipun perjalanan dakwah ini penuh tantangan,” ujarnya.

Menurut Abu Qoyyim, organisasi Khilafatul Muslimin berharap agar tidak ada tekanan lebih lanjut dari pihak-pihak tertentu yang berpotensi menghalangi kegiatan dakwah mereka. Mereka meyakini bahwa kebebasan beragama dan berpendapat adalah hak yang harus dilindungi oleh negara, sesuai dengan konstitusi.

Upaya Lanjutan Mencari Keadilan

Tim kuasa hukum Abdul Qadir Baraja kini tengah mempertimbangkan langkah-langkah hukum tambahan sebagai bentuk perjuangan terhadap keputusan yang dinilai tidak adil ini. Mereka berencana untuk melaporkan dugaan ketidakprofesionalan hakim yang menangani kasus ini ke Komisi Yudisial (KY) serta menggandeng Komnas HAM untuk menyuarakan hak-hak klien mereka yang menurut mereka telah terabaikan.

Menurut Abudan, langkah ini diambil untuk memperjuangkan transparansi dalam proses hukum, sekaligus sebagai kritik terhadap sistem peradilan yang selama ini dianggap cenderung berat sebelah. “Kami berharap KY dan Komnas HAM dapat memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini dan membuka peluang bagi perbaikan dalam sistem peradilan kita,” ujarnya.

Harapan untuk Masyarakat dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia

Publik diharapkan dapat melihat kasus ini dari sisi yang lebih luas dan mempertanyakan standar keadilan yang diterapkan oleh penegak hukum di Indonesia. Banyak pihak berharap bahwa kasus ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hukum yang kerap kali dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil atau kelompok yang dianggap rentan.

Abudan mengajak masyarakat untuk turut mempertanyakan apakah ada keadilan yang sesungguhnya bagi mereka yang selama ini dipinggirkan oleh stigma atau justifikasi tertentu. “Kami ingin masyarakat menilai, adakah keadilan bagi mereka yang selama ini dipinggirkan oleh stigma atau justifikasi tertentu,” tutupnya.

Perkembangan kasus ini diyakini akan menjadi perhatian publik dan membuka diskusi yang lebih luas mengenai praktik-praktik dalam sistem peradilan Indonesia. Terlebih lagi, langkah tim kuasa hukum Abdul Qadir Baraja untuk menggandeng berbagai lembaga pengawas dapat menjadi simbol penting dalam upaya masyarakat untuk mengawal prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum.(*)