TELAH lama media massa disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Di tengah era digital, di mana media massa bersaing dengan media sosial untuk menghadirkan berita dengan judul yang dirancang sangat menarik untuk memancing orang untuk melakukan klik (clickbait), masih tepatkah label pilar keempat demokrasi disematkan?
Pers atau mungkin lebih akrabnya media adalah jendela dunia di abad modern. Media sendiri berasal dari bahasa Latin medium yang berarti “jalan tengah atau perantara”. Penggunaan kata “media” untuk menggambarkan surat kabar dan radio, yang kemudian kita sebut sebagai media massa.
Seiring dengan meningkat dan terpusatnya kekuatan politik, muncul kebutuhan untuk menghadirkan transparansi pemerintahan. Atas kebutuhan ini, media massa kemudian mendapatkan tempat khusus karena perannya dalam mendistribusikan berita. Seperti dari istilah Latin-nya medium, media massa adalah jembatan antara elite politik dengan masyarakat umum.
Media berperan untuk memberi informasi tentang semua kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Media hadir seperti cermin yang memantulkan realitas ke hadapan publik. Media juga memiliki kekuatan penekan untuk mendorong penyelidikan kasus dan menuntut keadilan.
Terdapat dua peran media pada demokrasi. Pertama, memastikan masyarakat membuat pilihan yang bertanggung jawab dan terinformasi. Media memberikan akses informasi ke masyarakat terkait calon pemimpin atau wakil mereka di kursi Legislatif.
Kedua, media menjalankan fungsi pengawasan dan pemeriksaan karena memiliki kekuatan penekan untuk membuat wakil-wakil atau pemimpin yang terpilih menjunjung tinggi sumpah jabatannya. Media memberikan informasi ke publik terkait bagaimana kinerja pejabat yang mereka pilih. Apakah mereka menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.
Transparansi dan akuntabilitas merupakan ciri khas demokrasi modern. Dengan demikian, mengacu pada peran-peran tersebut, dapat dikatakan media merupakan aspek terpenting dalam demokrasi saat ini.
Akan tetapi apakah saat ini media massa masih memenuhi tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi?
Dua Ganjalan Utama
Empat poin agar media dapat menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi, yakni integritas jurnalis, independensi dapur redaksi, intelijensia para jurnalis, dan kedisiplinan dalam tata kelola peliputan dan keredaksian.
Saat ini telah terjadi transformasi bentuk berita yang membuat kualitas media menjadi menurun.
Tidak seperti saat ini di mana jumlah media sangat banyak, dulunya jumlah media dapat dihitung jari. Ini membuat media dapat fokus dalam menjaga kualitas dari pemberitaan karena tidak memikirkan persaingan seperti sekarang. Ketika media begitu banyak, persaingan tidak lagi berpusat pada kualitas pemberitaan ataupun investigasi, melainkan pada sebesar apa rating dan klik yang didapatkan.
Persoalan ini kemudian membuat media mengaburkan antara berita dengan hiburan agar dapat mendulang klik sebanyak mungkin. Selain perlombaan mencari klik, banyaknya jumlah media juga dilihat telah menurunkan kualitas dari para jurnalis. Dahulunya jurnalis merupakan suatu profesi yang menantang, mereka melakukan investigasi panjang dan mendalam.
Namun sekarang, semua orang dapat menjadi jurnalis. Profesi jurnalis dipandang dapat dilakukan oleh semua orang karena tugasnya hanya menyadur pernyataan pejabat, ataupun mencari isu yang hangat untuk diberitakan.
Dengan tuntutan mendulang klik sebanyak mungkin, adu cepat antar media, serta tuntutan jumlah berita harian, pertanyaannya tentu satu, bagaimana jurnalis dapat membuat berita yang berkualitas?
Selain perubahan bentuk berita, pendapatan yang tidak pasti dan belum adanya model bisnis yang jelas telah membuat media berada dalam krisis eksistensial.
Atas masalah tersebut, media kemudian mengandalkan Investor dan iklan untuk bertahan hidup. Untuk kepentingan itu, mencari rating dan klik sebesar mungkin menjadi tidak bisa dihindari.
Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital, juga menyebutkan bahwa industri media saat ini memberikan ruang yang besar atas masuknya intervensi kapital. Pasalnya, berbeda dengan media tradisional yang hanya memproduksi koran ataupun siaran radio, saat ini industri media membutuhkan berbagai infrastruktur yang mahal.
Ini kemudian melahirkan fenomena di mana media menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan para investor dan pemilik media. Jika boleh Secara khusus, saya menyebut fenomena ini sebagai oligarki media.
Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat dua masalah utama yang membuat kualitas pemberitaan menjadi menurun. Pertama adalah kebutuhan dalam mengejar klik dan sensasi. Kedua adalah dilema finansial yang membuat media mengikuti agenda politik sang pemilik kapital.
Masih Jadi Pilar?
Di titik ini, kita kembali pada pertanyaan saya diatas, apakah media masih menjadi pilar keempat demokrasi? Untuk menjawabnya, pertama-tama ada yang perlu digarisbawahi, yakni membedakan peran media secara umum, dengan perannya dalam konteks demokrasi.
Secara umum, media telah menjalankan perannya sebagai cermin realitas dan menjadi kekuatan penekan. Seperti banyak contoh, media memainkan peran penting dalam menyadarkan masyarakat, eksekutif, legislatif dan yudikatif atas masalah yang terjadi.
Namun, apabila membahas perannya sebagai pilar keempat demokrasi, media di Indonesia tampaknya belum menjalankan fungsinya dengan baik.
Menurut saya, oligarki media telah membuat media massa di Indonesia menjadi alat elite politik dalam mempromosikan agenda politiknya. Akhir-akhir ini misalnya, media menjadi alat untuk memetakan reaksi publik terkait siapa sosok yang akan dimajukan di Pilpres 2024.
Poin utama yang membuat media disebut sebagai pilar keempat demokrasi adalah independensi. Namun, dengan media yang merupakan perusahaan komersial, kecenderungan media untuk mendukung partai, politisi, pengusaha, atau bentuk status quo lainnya disebut menjadi tidak bisa dihindari.
Bertolak pada masalah yang dibahas di atas, seberapa mungkin media menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi? Alih-alih memberikan informasi rinci terkait kualitas atau kualifikasi calon pemimpin, media lebih kerap memberitakan seputar sensasi yang dihadirkan para politisi.