BANDARLAMPUNG, KENCANAMEDIA NEWS.COM – Belum lama ini Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Bandarlampung, resmi menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Rektor Unila Non Aktif Prof. Karomani, dalam perkara suap Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Jalur Mandiri di Universitas Lampung (Unila) Tahun 2022.
Sebelum memutuskan hukuman, Majelis Hakim terlebih dahulu membuat pertimbangan antara hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi karomani.
Adapun hal yang memberatkan Aom, yakni sebagai seorang rektor tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti dan meyakinkan bersalah dengan melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dakwaan kesatu pertama.
Menanggapi hal itu, Ketua GEPAK Lampung Wahyudi menyebut bahwa perkara yang menimpah Aom adalah bentuknya penyuapan, di mana pemberi dan penerima sama-sama terkena unsur pidana.
Itu kan sudah jelas diatur Pasal 5 UU Tipikor dan Pasal 12 UU Tipikor. Pemberi dan penerima sama-sama terkena unsur pidana,” ucap Yudi sapaan akrabnya, Jumat (16/06/2023).
Yudi pun berujar, tak adil rasanya jika penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya fokus pada Andi Desfiandi selaku penyuap dalam perkara suap PMB Jalur Mandiri di Unila.
Yudi pun menduga masih banyak para penyuap Rektor Unila Non Aktif tersebut selain Andi Desfiandi. Apalagi saat proses sidang, terungkap beberapa nama yang muncul dalam fakta persidangan, salah satunya anggota DPRD Provinsi Lampung Mardiana.
“Tak adil rasanya jika penyuap yang duduk di meja pesakitan hanya Andi Desfiandi. Padahal dalam fakta-fakta persidangan terungkap beberapa nama yang terindikasi terlibat dan berupaya menyuap atau memberikan gratifikasi kepada Aom Karomani, untuk memuluskan niatnya memasukkan sanak saudara atau kerabatnya ke Fakultas Kedokteran Unila melalui Jalur Mandiri,” tegas Yudi.
Yudi pun kembali menyebut, publik Lampung menanti keberanian KPK untuk mengembangkan kasus suap PMB Unila. Ia pun mendesak KPK kembali memeriksa nama-nama yang terungkap dalam fakta-fakta persidangan.
“Apalagi sudah jelas Mardiana sempat mengaku telah memberikan sejumlah uang untuk memuluskan langkahnya memasukkan anaknya masuk ke Fakultas Kedokteran Unila. Maka saya mendesak KPK agar segera kembali memanggil dan memeriksa Mardiana,” pungkasnya.
Jika KPK tidak segera bergerak dalam mengembangkan kasus suap PMB Unila ini, sambung Yudi, dikhawatirkan bakal muncul stigma beberapa penyuap Aom lainnya ini kebal hukum. Padahal sudah jelas, setiap warga negara Indonesia, sama di mata hukum.
“Ini yang sangat dikhawatirkan, jika KPK tidak segera bertindak untuk menemukan tersangka baru dalam kasus suap PMB Unila yang menjerat Aom Karomani. Saya menghawatirkan nanti muncul stigma negatif jika penyuap Aom, selain Andi Desfiandi, di cap kebal hukum. Tentu ini pertaruhannya adalah kredibilitas,” ujar Yudi.
Sebelumnya, dilansir dari Rmollampung.id, anggota DPRD Provinsi Lampung Mardiana mengakui menyeret nama Anggota DPR RI Tamanuri agar anaknya, KD bisa diterima di Fakultas Kedokteran Unila.
Mardiana bercerita, dirinya berusaha menemui Rektor Unila Karomani untuk berkomunikasi terkait penambahan uang Sumbangan Pembiayaan Institusi (SPI) namun tak berhasil. Akhirnya ia menemui Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi.
“Saya bawa map berisi berkas SPI tambahan Rp100 juta dari sebelumnya Rp250 juta, jadi saya berniat bayar Rp350 juta supaya jadi pertimbangan anak saya bisa lulus,” ujarnya di sidang suap Unila di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Selasa (28/2).
Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, lanjut Mardiana, Heryandi meminta dirinya mengikuti prosedur Jalur Mandiri yang ada, lagipula keputusan tetap berada di tangan rektor.
“Berkas saya tinggal dan saya tulis nama Tamanuri, Anggota DPR RI di berkas anak saya supaya bisa jadi pertimbangan. Saya pernah jadi stafnya dan sama-sama di Nasdem. Tapi tidak ada kabar lagi, jadi saya minta tolong ke Tamanuri supaya bisa ketemu Rektor,” ujarnya.
Setelah bertemu, Karomani juga menyampaikan hal yang sama agar dirinya mengikuti prosedur saja. Setelah sang anak dinyatakan lulus, Karomani kemudian menghubungi Tamanuri.
“Pak Tamanuri menelpon saya untuk memberi kabar juga bahwa Karomani ingin bertemu. Saya kemudian bertemu Karomani di Gedung Lampung Nahdliyyin Center (LNC),” jelasnya.
Ia kemudian diajak berkeliling gedung oleh Karomani. Saat di lantai 3, Karomani mengatakan proses pengisian furniture masih belum selesai dan mempersilakan Mardiana untuk memberikan sumbangan.
“Tapi saya bilang belum bisa karena saya ingin meminta keringanan SPI dibayar dua kali, kalau tahun depan saya ada rejeki insyaallah akan menyumbang,” kata politisi Nasdem itu.
“Jadi saya belum memberikan sumbangan, saya hanya bayar Rp350 juta untuk SPI dan Rp17,5 Juta UKT saja,” sambung Mardiana.
Ia pun menegaskan, pernyataan Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat (BPHM) Unila Budi Sutomo yang menyebut dirinya memberikan Rp100 juta lewat Budi tidaklah benar. Ia juga siap dikonfrontir terkait pernyataan tersebut.
Diketahui, pada persidangan ini hadir lima saksi di antaranya Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Radityo, Dosen Universitas Syiah Kuala, Ahmad Nizam, Ketua DPW Nasdem Lampung Herman HN dan ajudannya Yayan Saputra, serta Mardiana. (tim)